Iqra Bismirabbikalladzii Khalaq

Tuesday, March 15, 2005

Moralitas Cerita Indonesia (1)

Engga pengin terlalu pesimistik, tapi rasanya kisah-kisah seperti ini kurang mendidik ya...

Dalam rangkaian kisah buku anak-anak mungkin dapat kita temukan hal-hal yang bisa kita "upgrade" sehingga anak-anak bisa tumbuh lebih baik. Perlu ditekankan dalam prinsip pembedahan saya, cerita yang jadi rujukan adalah cerita yang tersepsi, dan bukan cerita yang mungkin menjadi versi asli dari sumber-sumbernya. Ini karena versi asli tersebut tidaklah berpengaruh, tapi buku atau kisah yang ada di depan pembaca lah yang berpengaruh.

Kita akan mulai pembedahan dengan cerita "Timun Emas" yang ditemukan di versi online buku anak-anak di internet.

Dalam kisah di bawah, yang pertama, ada sebuah kepercayaan yang ditanamkan di anak-anak, kekuatan gaib dan magic yang dimiliki persona-persona tertentu, yang dapat dijadikan solusi dan tempat bergantung. Ini dapat membekas dan mempengaruhi pola pikir dewasa mereka. Dengan kata lain, untuk menempuh resiko dan berusaha dan berjuang kurang ditekankan dalam pencapaian solusi. Sebagai contoh, raksasa yang dapat memberikan seorang anak, dengan prasyarat tertentu. Sekilas mengasosiasikan dengan dunia nyata sekarang, kita melihat pola yang mirip dengan solusi-solusi kedukunan (yang marak) tentang penglarisan atau pesugihan.

Atau tentang pertapa yang mudah memberi "solusi matang" berupa item-item yang siap digunakan manakala ada masalah. Sedikit refleksi dengan kehidupan riil, hampir semua permasalahan tidak memiliki jawaban secara langsung. Kita tidak dapat merogoh kantung saku dan menemukan jawaban dari masalah ketika dihadapkan pada terjepitnya kita pada sebuah situasi. Kita harus berpikir dan melangkah menuju solusi yang terpikirkan. Bahkan kita pun harus berjuang untuk memikirkan solusinya. Adakah hal itu tergambar dalam cerita-cerita ini?

Kedua, keringnya nilai-nilai moral yang terkandung di dalam cerita. Cerita anak yang baik seharusnya dapat mengartikulasikan nilai-nilai ideal dalam wacana yang menginspirasi. Ia harus dapat membuat anak menikmati indah dan damainya "biru" jika warna biru adalah sebuah nilai yang hendak kita sampaikan. Ia harus dapat membuat anak terbakar dan bersemangat dengan "merah", jika warna merah adalah sebuah nilai yang menjadi sasaran. Cerita di bawah memang mengandung nilai moral, tapi entah berapa banyak lapisan yang harus dikuak sehingga anak dapat mengerti dan memahaminya, belum lagi mengaplikasikannya.

Mungkin lebih baik yang ditonjolkan adalah bagaimana anak tersebut terus lari dan berlari, walaupun dalam batas - batas yang nampaknya tak ada pilihan kecuali berhenti dan menyerah. Apapun, nilai-nilai tersebut harus diungkap dengan gambaran yang terang benderang, dengan aroma yang kuat, serta memberi kesan mendalam pada jiwa-jiwa yang membaca atau mendengarnya.

Sekian dari saya dan silahkan menyimak cerita yang saya perbincangkan

Timun Emas

Mbok Sirni namanya, ia seorang janda yang menginginkan seorang anak agar dapat membantunya bekerja. Suatu hari ia didatangi oleh raksasa yang ingin memberi seorang anak dengan syarat apabila anak itu berusia enam tahun harus diserahkan keraksasa itu untuk disantap. Mbok Sirnipun setuju. Raksasa memberinya biji mentimun agar ditanam dan dirawat setelah dua minggu diantara buah ketimun yang ditanamnya ada satu yang paling besar dan berkilau seperti emas. Kemudian Mbok Sirni membelah buah itu dengan hati-hati. Ternyata isinya seorang bayi cantik yang diberi nama timun emas.

Semakin hari timun emas tumbuh menjadi gadis jelita. Suatu hari datanglah raksasa untuk menagih janji Mbok sirni amat takut kehilangan timun emas, dia mengulur janji agar raksasa datang 2 tahun lagi, karena semakin dewasa,semakin enak untuk disantap, raksasa pun setuju. Mbok Sirnipun semakin sayang pada timun emas, setiap kali ia teringat akan janinya hatinyapun menjadi cemas dan sedih. Suatu malam mbok Sirni bermimpi, agar anaknya selamat ia harus menemui petapa di Gunung Gundul. Paginya ia langsung pergi. Di Gunung Gundul ia bertemu seorang petapa yang memberinya 4 buah bungkusan kecil, yaitu biji mentimun, jarum, garam,dan terasi sebagai penangkal. Sesampainya dirumah diberikannya 4 bungkusan tadi kepada timun emas, dan disuruhnya timun emas berdoa.

Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji. Timun emaspun disuruh keluar lewat pintu belakang untuk Mbok sirni. Raksasapun mengejarnya. Timun emaspun teringat akan bungkusannya, maka ditebarnya biji mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun memakannya tapi buah timun itu malah menambah tenaga raksasa. Lalu timun emas menaburkan jarum, dalam sekejap tumbuhlan pohon-pohon banbu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah raksasa terus mengejar. Timun emaspun membuka bingkisan garam dan ditaburkannya. Seketika hutanpun menjadi lautan luas. Dengan kesakitannya raksasa dapat melewati.

Yang terakhir Timun Emas akhirnya menaburkan terasi, seketika terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, akhirnya raksasapun mati. " Terimakasih Tuhan, Engkau telah melindungi hambamu ini " Timun Emas mengucap syukur. Akhirnya Timun Emas dan Mbok Sirni hidup bahagia dan damai.

Saturday, March 12, 2005

PENGANTAR ILMU HADIS (1)
Terjemahan dari :An Introduction to the Science of Hadith. Suhaib Hassan, Al-Quran Society, London.

PENGANTAR

Kaum Muslimin sepakat bahwa Sunnah dari Nabi Muhammad SAW adalah sumber fundamental kedua setelah Al Quran. Sunnah yang otentik terkandung di dalam literatur hadis yang amat luas.(1)
Sebuah hadis terdiri atas dua bagian : matan (teks) dan isnad (rantai periwayat). Sebuah Matan boleh jadi nampak logis dan masuk akal, tapi masih tetap membutuhkan isnad dengan perawi yang reliabel untuk dapat diterima. Abdullah bin Al-Mubarak (wafat 181 H), salah seorang guru dari Imam al-Bukhari, berkata, “Isnad adalah bagian dari agama: Tanpanya, siapapun bisa mengatakan apa yang dia sukai”. (2)

Sepanjang kehidupan Nabi SAW dan setelah meninggalnya beliau, para sahabatnya terbiasa merujuk kepada beliau langsung, ketika mengutip apa yang beliau katakan. Para Pengikut (Tabi’un) mengikuti kebiasaan ini; sebagian menguptip langsung Nabi melalui Sahabat, dan sebagian lagi menghilangkan link perantaranya. Hadis seperti ini dikenal sebagai MURSAL. Diketahui bahwa link yang hilang di antara Pengikut dan Nabi mungkin satu orang (misalnya seorang sahabat) atau dua orang (orang yang pertama adalah Tabiin yang lebih tua usianya yang mendengar dari sahabat). Ini adalah sebuah contoh betapa kebutuhan verifikasi setiap isnad muncul ke permukaan. Imam Malik (wafat 179 H) berkata , “Yang pertama kali menggunakan isnad adalah Ibn Shihab al-Zuhri” (wafat 124 H). (3)

Alasan penting lainnya adalah upaya pemalsuan hadis besar-besaran oleh sekte-sekte yang muncul di kalangan Muslimin, untuk mendukung pandangannya (Lihat nanti di topik hadis Maudu’). Ibn Sirin (wafat 110 H), seorang Tabiin, berkata, “Mereka tidak akan bertanya tentang isnad. Tapi ketika fitnah (kesulitan, kekacauan, terutama perang saudara) terjadi, mereka bertanya: Katakan kepada kami orang-orangmu. Jadi narasi dari Ahlu Sunnah (mengikuti sunnah) akan diterima, sementara yang mengikuti Ahlu Bid’ah (membuat-buat) tidak akan diterima.”(4)

SEJARAH SINGKAT MUSTALAH-HADIS (KLASIFIKASI HADIS)

Seiring dengan berjalannya waktu, semakin banyak perawi yang terlibat dalam setiap Isnad, dan sehingga keadaan menghendaki keilmuan yang ketat di dalam penerimaan hadis-hadis; Peraturan yang mengatur ilmu ini dikenal dengan Mustalah- al Hadis (Klasifikasi Hadis)

Di antara kalangan ahli hadis awal (muhadisin, ulama-ulama hadis), peraturan dan kriteria yang mengatur studi Hadis sangatlah rinci, namun sebagian dari terminologi bervariasi dari orang-ke orang, dan pada prinsip-prinsipnya mulai dituliskan, namun masih tersebar di buku-buku, misalnya di Al-Risalah al-Shafi’i (wafat 204 H), Pengenalan Sahih Muslim (wafat 261), dan di dalam Jami’ al-Tirmidhi (wafat 279); banyak dari kriteria dari para muhadisin awal (misal al-Bukhari) yang disimpulkan oleh ulama belakangan dari studi yang hati-hati mana-mana perawi atau isnad yang diterima dan ditolak oleh mereka.

Sebuah tulisan paling awal untuk mencoba meliput Mustalah secara komprehensif, menggunakan terminologi standard (yakni, secara umum diterima), adalah karya al-Ramahurmuzi (wafat 360). Kontribusi besar berikutnya adalah Ma’rifah ‘Ulum al-Hadith oleh al-Hakim (wafat 405), yang meliputi limapuluh klasifikasi Hadis, namun masih meninggalkan beberapa poin yang belum diungkap. Abu Nu’aim al-Isbahani (wafat 430) menyelesaikan sebagian dari bagian-bagian hilang karya tersebut. Setelah itu muncul Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah dari al-Khatib al-Baghdadi (wafat 463) dan karya lainnya tentang tatacara pengajaran dan pembelajaran Hadis; Ulama yang datang selanjutnya banyak berhutang budi pada karya al-Khatib tersebut.

Setelah kontribusi lebih jauh oleh Qadi ‘Iyad al-Yahsubi (wafat 544) dan Abu Hafs al-Mayanji (wafat 580) di antara yagn lain, datanglah sebuah karya, walaupun ukurannya sedang-sedang saja, sangatlah komprehensif di dalam pembahasannya tentang Mustalah, sehingga ia menjadi bahan rujukan standard bagi ribuan ulama dan pelajar Hadis di masa yang akan datang, melewati ratusan tahun sampai sekarang: ‘Ulum al;-Hadith dari Abu ‘Amr ‘Uthman Ibn al-Salah (wafat 643), lazim dikenal sebagai Muqaddimah Ibn al-Salah, dikompilasi ketika dia mengajar di Dar al-Hadith pada beberapa kota di Syria. Beberapa karya berikutnya yang berdasarkan karya Ibn al-Salah tersebut adalah:
Ringkasan Muqaddimah, Al-Irshad oleh al-Nawawi (wafat 676) yang beliau sarikan di dalam Taqrib; al-Suyuti (wafat 911) mengompilasi komentar berharga dari karya terakhir yang berjudul Tadrib al-Rawi.
Ikhtisar ‘Ulum al-Hadith oleh Ibn Kathir (wafat 774), Al-Khulasah al-Tibi (wafat 743), Al-Minhal karya Badr al-Din b. Jama’ah (wafat 733), Al-Muqni’ karya Ibn al-Mulaqqin (wafat 802) dan Mahasin al Istilah karya al-Balqini (wafat 805(), kesemuanya merupakan ringksan dari Muqaddimah Ibn-al-Salah.
Al-Nukat oleh al-Zarkashi (wafat 794), Al-Taqyid wa’l Idah karya al-‘Iraqi (wafat 806) dan Al-Nukat oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani (wafat 852), kesemuanya adalah catatan-catatan lebih jauh dari hal-hal yang telah ditunjukkan Ibn al-Salah.
Alfiyyah al-Hadith karya al-‘Iraqi, sebuah penulisan ulang dari Muqaddimah dalam bentuk puisi panjang, yang kemudian banyak dikomentari, termasuk dua (satu panjang, satu pendek) oleh pengarangnya sendiri; Fath al-Mughith oleh al-Sakhawi (wafat 903), Qatar al-Durar karya al-Suyuti dan Fath al-Baqi karya Shaykh Zakariyyah al-Ansari (wafat 928).

Beberapa karya penting lain yang perlu dicatat adalah:
Al-Iqtirah karya Ibn Daqiq al-‘Id (wafat 702). Tanqih al-Anzar oleh Muhammad b Ibrahim al-Wazir (wafat 840), yang akan dikomentari oleh al-Amir al-San’ani (wafat 1182).
Nukhbah al Fikr oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani, menjadi subjek beberapa komentar, termasuk satu oleh pengarangnya sendiri, satu oleh anaknya, Muhammad, dan oleh 'Ali al-Qari (d. 1014), 'Abd al-Ra'uf al-Munawi (d. 1031) and Muhammad b. 'Abd al-Hadi al-Sindi (d. 1138). Di antara mereka yang mengubah Nukhbah dalam bentuk puisi adalah al-Tufi (wafat 893)
Alfiyyah al-Hadith oleh al-Suyuti, karya puisi paling komprehensif di bidangnya. Al-Manzumah oleh al-Baiquni, yang kemudian dilengkapi oleh, antara lain: al-Zurqani, (wafat 1122) dan Nawab Siddiq Hasan Khan (wafat 1307). Qawa’id al-Tahdith oleh Jamal al-Din al-Qasimi (d. 1332).
Taujih al-Nazar oleh Tahir al-Jaza’iri (1338), sebuah ringkasan dari Ma’rifah-nya al-Hakim

MUSTALAH AL-HADITH

Buku-buku mustalah berbicara seputar kelas-kelas hadis beserta statusnya. Klasifikasi luas berikut dapat diikuti, masing-masingnya akan dijelaskan pada bab berikut:
Menurut Rujukan kepada orang-orang tertentu. Misalnya, Nabi SAW, Sahabat, atau Tabiin; Hadis-hadis tersebut disebut marfu’ (ditinggikan), mauquf (berhenti), dan maqtu’ (terpotong).
Berdasarkan mata rantai Isnad, yakni, apakah mata rantai perawi terganggu atau tidak terganggu, misalnya musnad (didukung), muttasil (kontinyu), munqati’ (rusak), mu’allaq (menggantung), mu’dal (membingungkan) dan mursal (terburu-buru)
Menurut jumlah periwayat yang terlibat dalam setiap tahapan isnad, yakni, mutawatir (?) dan ahad (sendiri), yang terakhir dibagi menjadi gharib (jarang, asing), ‘aziz (langka, kuat), dan mashhur (terkenal)
Menurut bagaimana sebuah hadis dilaporkan , misalnya menggunakan kata-kata Arab ‘an (“dikatakan oleh…”), haddathana (“dia mengatakan kepada kita”), akhbarana (“dia menginformasikan kepada kita”), atau sami’tu (“aku mendengar”). Di dalam kategori ini terdapat diskusi tentang hadis mudallas (tersembunyi) dan musalsal (terkait seragam). Catatan: Dalam kutipan isnad dalam buku ini, bentuk pertama narasi yang disebutkan di atas akan dilambangkan dengan ( --- ), sementara tiga bentuk sisanya akan dilambangkan dengan (===)
Menurut asal matan dan isnad, misalnya penambahan oleh periwayat yang reliabel, dikenal sebagai ziyadatu thiqah. Atau penentangan oleh orang yang lebih sedikit ke yang lebih kuat, dikenal sebagai shadhdh (tidak umum). Dalam beberapa kasus, sebuah teks yang mengandung ekspresi vulgar, komentar yang tidak masuk akal, atau pernyataan yang jelas salah langsung ditolak oleh ahli haids tanpa konsiderasi Isnad, hadis tersebut dikenal sebagai munkar .Jika sebuah pernyataan dibuktikan sebagai penambahan oleh perawi terhadap teks, ia dikenal sebagai Mudraj (terinterpolasi)
Berdasarkan / menurut kecacatan yagn ditemukan di dalam Isnad atau Teks dari Hadis. Walaupun hal ini bisa masuk dalam beberapa kategori sebelumnya, sebuah hadis mu’allal (hadis cacat) cukup perlu untuk diterangkan secara terpisah. Cacat tersebut bisa timbul dari bermacam cara, misalnya dua tipe hadis mu’allal dikenal sebagai Maqlub (terbalik) dan mudtarib (bergetar).
Menurut reliabilitas dan ingatan para perawi; keputusan akhir tentang hadis bergantung pada faktor ini: vonis seperti sahih (benar), hasan (baik), da’if (lemah), dan maudu’ (palsu) bersandar pada para perawi di dalam Isnad.